بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Assalaamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah Yang
membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur
rezeki dan makanan, Yang menurunkan Kitabullah Al-Qur'anul Kariim, Yang
menghidupkan dan mematikan, serta Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan
baik. Shalawat beserta salam bagi junjungan kita, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dan ahlul baitnya, para shahabat, para tabi'in, tabi'ut
tabi'in serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Sahabatku yang dimuliakam Allah
Subhanahu Wa Ta’ala,
Ketiga kata yang disebutkan dalam
judul di atas "Rasa Cinta-Takut dan Harap" merupakan kata-kata
yang diri kita, hati kita tidak akan lepas darinya, baik itu ketika kita masih
kecil, menjelang usia muda bahkan ketika kita tua. Namun terkadang kita salah
mengartikan dan menyalurkan ketiga hal di atas dengan sesuatu yang terlarang
dalam Agama. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang selayaknya kita tahu ketiga
hal di atas dengan benar, untuk itulah mari kita luangkan sejenak waktu kita
dengan rasa ikhlas untuk membaca di blog kami ini yang Insya Allah bermanfaat.
Mengenal Cinta (Mahabbah)
Cinta dan keinginan merupakan asal
bin sebab setiap perbuatan atau amal dan gerakan di alam semesta ini, kedua hal
itulah yang mengawali segala perbuatan dan gerakan sebagaimana benci dan rasa
ketidaksukaan adalah asal/sebab yang mengawali seseorang untuk meninggalkan dan
menahan diri dari sesuatu.[1]
Ibnul Qoyyim Rahimahullah
menyebutkan bahwa dasar ibadah, kesempurnaan serta kelengkapannya adalah cinta.
Karena itulah seorang hamba tidak boleh mempersekutukan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan kecintaan kepada selain-Nya[2].
Bahkan dua kalimat yang seseorang tidak akan masuk islam kecuali dengannya
yaitu dua kalimat syahadat tidaklah sah jika seseorang yang mengucapkannya
kecuali dengan rasa cinta [3].
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ
أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ
الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Artinya : “Dan diantara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah (melebihi cinta orang musyrik kepada
berhala mereka)” (QS. Al Baqoroh : 165).
Bahkan hakikat peribadatan adalah
menghinakan diri dan tunduk kepada yang dicintai. Dengan kata lain yang dinamakan
hamba adalah orang yang dihinakan oleh rasa cinta dan ketundukan kepada orang
yang dicintai. Oleh karena itulah tingkatan yang paling mulia bagi seorang
hamba adalah penghambaan kepada yang dicintainya. Lihatlah betapa Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menyebut mahluk-Nya yang paling mulia dan paling
dicintai-Nya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sebutan
"hamba". Sebagaimana dalam firman Allah Azza Wa Jalla :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : “Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha” (QS. Al Isro’ : 1)[4].
Lima Hakekat Cinta yang Berbeda
Terdapat 5 macam cinta yang harus
dibedakan, sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat kerenanya.
- Mahabbatullah, yaitu cinta kepada Allah. Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan mendapatkan pahala-Nya. Sebab kaum musyrikin, penyembah salib dan yahudi juga mencintai Allah[5].
- Mahabbatu maa yuhibbullah, yaitu mencintai perkara yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala cintai. Hal inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran.
- Al-Hubb lillah wa fillah, yaitu mencintai karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ketaatan kepada-Nya. Hal ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala cintai. Sungguh mencintai sesuatu tidaklah akan benar-benar terwujud kecuali dengan mencintai hal itu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dalam ketaatan kepada-Nya.
- Al-Mahabbatu ma’allah, yaitu mencintai selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini adalah kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah. Barangsiapa yang mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana kepada kecintaan pada Allah dan bukan dalam ketaatan kepada-Nya, maka dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin.
- Al-Mahabbatu ath-Thobi’iyah, yaitu cinta yang sejalan dengan tabiat. Cinta ini bentuknya berupa kecenderungan seseorang terhadap perkara yang sesuai dengan tabiatnya seperti seseorang yang haus mencintai air, seseorang suami dan ayah mencintai istri dan anak dan seterusnya. Kecintaan jenis ini tidaklah tercela selama kecintaan tersebut tidak melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala (ibadah) dan menghambat kesibukan hamba dalam mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semisal seorang yang karena cintanya kepada anaknya menyebabkan ia lalai dari shalat berjamaah karena bekerja untuk memberi nafkah anaknya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya : “Hai orang-orang
beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
merugi” (QS. Al Munafiqun : 9)[6].
Jika demikian celaan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala pada hal-hal yang mubah, maka bagaimanakah celaan Allah
terhadap kecintaan seseorang terhadap perkara yang haram semisal seorang pemuda
yang mencintai pacarnya[7],
apalagi jika kecintaan ini menghalanginya dari ibadah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, semisal melalaikan shalat berjamaah. Maka tentulah celaan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala untuk orang yang demikian bertumpuk-tumpuk banyaknya.
Makna Takut (Khouf)
Ibnu Qudamah Rahimahullah
mengatakan, “Rasa takut merupakan sebuah ungkapan dari rasa sedihnya hati
disebabkan hal-hal yang dibenci yang akan terjadi pada masa yang akan datang,
rasa ini berbanding lurus dengan sebab-sebabnya kuat dan akan melemah jika
sebabnya melemah pula”[8].
Terdapat tiga jenis rasa takut,
yaitu :
- Takut karena tabiat, takut jenis ini semisal seseorang takut binatang buas, api, tenggelam dan lain sebagainya. Takut jenis ini tidaklah menyebabkan pemiliknya tercela. Jika takut jenis ini menjadi sebab seseorang meninggalkan yang hukumnya wajib atau melakukan perbuatan yang hukumnya haram maka takut jenis ini menjadi takut yang hukumnya haram.
- Takut dalam rangka ibadah, misalnya seseorang takut kepada seseorang yang rasa takut tersebut bernilai ibadah kepadanya. Perasaan takut jenis ini hanya boleh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Barangsiapa yang menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam jenis ketakutan yang semisal ini maka ia telah berbuat kesyirikan besar.
- Takut sirr, yaitu perasaan takut yang tersembunyi. Misalnya seseorang takut kepada penghuni kubur dan yang semisal. Takut yang semisal ini digolongkan para ulama sebagai salah satu bentuk syirik[9].
Takut yang Bernilai Lebih dan Takut
yang Tercela
Takut yang bernilai lebih adalah
takut yang didasari ilmu, manusia yang paling takut kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala adalah manusia yang paling mempunyai ilmu/ mengenal Rabbnya. Oleh karena
itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, “Aku adalah orang
yang paling mengetahui/kenal dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan akulah orang
yang paling takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala diantara kalian (ummat
beliau)”[10].
Takut kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala adalah dapat menjadi sebuah hal yang terpuji dan pada kedaan yang lain
dapat saja tercela. Jika rasa takut tersebut melahirkan keterpalingan diri pemiliknya
dari maksiat dalam artian rasa takut tersebut membawa pemiliknya untuk
melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram
maka rasa takut yang demikian merupakan rasa takut yang terpuji. Namun jika
rasa takut tersebut menggiring pemiliknya kepada rasa putus asa dari rahmat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, patah semangat dan semakin terjerumus dalam
kemaksiatan karena putus asa dan meninggalkan amal ibadah, maka takut yang
demikian adalah takut yang tercela[11].
Makna Rasa Harap (Roja’)
Ibnu Qudamah Rahimahullah
mengatakan, “Rasa tenang dalam penantian terhadap suatu perkara yang
dicintai, namun hal ini akan terwujud dengan disertai adanya sebab yang
mewujudkannya. Adapun jika tanpa adanya sebab maka hal ini bukanlah rasa harap
akan tetapi sekedar angan-angan”[12].
Harapan mengandung dua unsur yaitu adanya perendahan diri (serendah-rendahnya)
dan ketundukan (sepasrah-pasrahnya) kepada yang diharapkan. Maka harapan yang
demikian hanya boleh diberikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga
barangsiapa yang menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada harapan yang
semisal ini maka ia telah terjatuh dalam kemusyrikan[13].
Rasa Harap yang Terpuji dan Tercela
Ketahuilah bahwa rasa harap terdiri
dari dua jenis :
- Rasa harap yang terpuji, semisal rasa harap terhadap pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika seseorang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di atas ilmu/cahaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demikian juga rasa harap akan diterimanya taubat yang ada pada orang yang bertaubat dari perbuatan dosa.
- Rasa harap yang tercela, semisal rasa harap akan diterimanya taubat dari sebuah dosa seseorang yang senantiasa melakukan dosa tersebut. Maka rasa harap yang demikian bukanlah rasa harap melainkan sebuah ketertipuan, angan-angan kosong dan rasa harap yang palsu[14].
Sebahagian orang keliru dalam
menafsirkan sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang
artinya “Sesungguhnya Aku bersesuaian dengan persangkaan hambaku”[15].
Dalam riwayat yang lain, “Seseungguhnya Aku bersesuaian dengan persangkaan
hambaku maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau”[16].
Mereka menafsirkannya dengan
berprasangka baik kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa Allah Subhanahu Wa
Ta’ala akan mengampuni dosa mereka padahal mereka tetap dalam kemaksiatannya.
Maka penafsiran demikian keliru sebagaimana lanjutan teks hadits yang di atas, “Dan
Aku akan bersamanya jika ia mengingatKu, jika dirinya mengingatKu maka Aku akan
mengingatnya, jika ia mendekatkan dirinya (dengan ketaatan) kepadaKu sejauh
sejengkal maka Akan mendekatkan diriKu padanya sehasta”[17].
Maka jelaslah yang dimaksud dengan
bersesuaian dengan persangkaan hamba-hambaKu dalam hadits di atas adalah
persangkaan akan adanya pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada orang-orang
yang beramal ketaatan kepada-Nya. Hal yang tidak jauh berbeda juga dikatakan Al
Hasan Al Bashriy Rahimahullah, “Sesunguhnya mukmin yang berbaik sangka
kepada Rabbnya adalah orang yang membaguskan amal ketaatannya. Sesungguhnya
orang yang fajir adalah orang yang berburuk sangka kepada Rabbnya maka ia akan
beramal keburukan”[18].
Penutup
Sebagai penutup kami nukilkan
perkataan Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Rahimahullah, “Ketahuilah bahwa
sesungguhnya yang mengerakkan hati kepada Allah ‘Azza Wa Jalla ada 3 hal yaitu
rasa cinta, rasa takut dan rasa harap". Yang paling kuat pengaruhnya
adalah rasa cinta, karena ia adalah maksud yang dicari di dunia dan akhirat,
adapun rasa takut maka ia akan hilang di akhirat sebagaimana firman Allah
Subahanahu Wa Ta’ala :
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : “Ketahuilah,
sesungguhnya wali-wali Allah (orang-orang yang beriman dan bertaqwa) itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”
(QS. Yunus : 62).
Rasa takut melahirkan adanya
ketercegahan dari keluar dari ketaatan di jalan Allah, sedangkan rasa harap
adalah sesuatu yang menuntun kepada ketaatan di jalan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.
Ketiga hal ini merupakan landasan
yang agung, setiap hamba wajib untuk memperhatikannya karena tidaklah akan
terwujud ubudiyah/penghambaan diri (kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala) kecuali
dengan ketiganya”[19].
Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat bagi kita smua dan terutama bagi penulis sendiri, sehingga amal
ibadah kita lebih berkualitas di sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Amiin....
Sumber :
[1] Lihat Mawaridul
Aman Al Muntaqo min Ighotsatil Lahfan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al
Halabiy hafidzahullah hal. 325 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[2] Idem hal. 328 dengan perubahan redaksi kalimat.
[3] Lihat At Tanbihatul Mukhtashoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuroisyi hal. 37, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh.
[4] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 268 dengan ringkasan dan perubahan redaksi.
[5] Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 165 di atas.
[6] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 271 dengan ringkasan dan perubahan redaksi.
[7] Dan telah jelas dalil yang menunjukkan haramnya pacaran sebelum nikah dalam Al Qur’an pada surat Al Isro’ ayat 32.
[8] Mukhtashor Minhajul Qoshidin oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dengan tahqiq Zuhair Asy Syawis hal. 347, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon secara ringkas.
[9] Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 57, terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA.
[10] HR. Bukhori no. 7301, Muslim no. 2356.
[11] Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul hal. 57.
[12] Lihat Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 368 secara ringkas.
[13] Lihat Hushulul Ma’mul Syarh Tsatatsatul Ushul oleh Syaikh Abdullah bin Sholeh Al Fauzan hafidzahullah hal. 81, terbitan Maktabah Ar Rusyd, Riyadh, KSA.
[14] Idem hal. 82.
[15] HR. Bukhori no. 7405, Muslim no. 2675.
[16] HR. Ibnu Hibban no. 633, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij beliau untuk kitab ini hal. 402/II, terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[17] HR. Bukhori no. 7405, Muslim no. 2675.
[18] Atsar ini dikatakan Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd hal. 348. Lihat tahqiq beliau untuk kitab Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 38.
[19] Lihat Majmu’ Fatawa oleh Ahmad bin Abdul Halim hal. 95/I.
[2] Idem hal. 328 dengan perubahan redaksi kalimat.
[3] Lihat At Tanbihatul Mukhtashoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuroisyi hal. 37, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh.
[4] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 268 dengan ringkasan dan perubahan redaksi.
[5] Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 165 di atas.
[6] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 271 dengan ringkasan dan perubahan redaksi.
[7] Dan telah jelas dalil yang menunjukkan haramnya pacaran sebelum nikah dalam Al Qur’an pada surat Al Isro’ ayat 32.
[8] Mukhtashor Minhajul Qoshidin oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dengan tahqiq Zuhair Asy Syawis hal. 347, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon secara ringkas.
[9] Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 57, terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA.
[10] HR. Bukhori no. 7301, Muslim no. 2356.
[11] Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul hal. 57.
[12] Lihat Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 368 secara ringkas.
[13] Lihat Hushulul Ma’mul Syarh Tsatatsatul Ushul oleh Syaikh Abdullah bin Sholeh Al Fauzan hafidzahullah hal. 81, terbitan Maktabah Ar Rusyd, Riyadh, KSA.
[14] Idem hal. 82.
[15] HR. Bukhori no. 7405, Muslim no. 2675.
[16] HR. Ibnu Hibban no. 633, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij beliau untuk kitab ini hal. 402/II, terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[17] HR. Bukhori no. 7405, Muslim no. 2675.
[18] Atsar ini dikatakan Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd hal. 348. Lihat tahqiq beliau untuk kitab Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 38.
[19] Lihat Majmu’ Fatawa oleh Ahmad bin Abdul Halim hal. 95/I.
0 komentar:
Posting Komentar